Kamis, 25 Maret 2010

ASURANSI SYARI'AH DAN KONVENSIONAL

BAB I

PENDAHULUAN

  1. LATAR BELAKANG

Seiring dengan kemajuan zaman yang semakin melesat dan arus globalisasi yang sudah merasuk ke segala penjuru dunia bahkan sudah sampai ke desa-desa. Hal itu ditandai dengan menjamurnya alat teknologi dan gaya yang dibawa oleh pengaruhnya. Ada semacam peralihan sikap dan moral dalam kehidupan masyarakat. Begitu juga dalam hal muamalah yang disebabkan oleh kebutuhan manusia yang tidak terbatas dengan sumber daya yang terbatas memunculkan masalah-masalah baru yang harus diketahui hukumnya menurut ajaran Islam.

kajian fiqih muamalah dewasa ini sudah mengalami perkembangan. Masalah tersebut belum dikenal pada masa mujtahid-mujtahid fiqih, sehingga hukumnya juga belum diketahui. Untuk itu diperlukan pemahaman dan kajian yang mendalam terhadap masalah tersebut. Salah satu masalah yang baru tersebut adalah masalah asuransi.

Masalah asuransi ini banyak sekali menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian para ulama berpendapat ada yang membolehkan, membolehkan sebagian dan mengharamkan praktek yang lain, syubhat, bahkan ada yang berpendapat bahwa asuransi itu haram dalam segala bentuknya. Hal itu membuat umat dihadapkan dalam keadaan yang bimbang. Indonesia merupakan masyarakat mayoritas Islam. Mereka semua membutuhkan kepastian hukum asuransi menurut Islam.

Asuransi juga terbagi dalam dua kategori. Ada asuransi kovensional dan ada juga asuransi syari’ah. Keduanya mempunyai asal usul dan sistem yang berbeda. Mana diantara keduanya yang harus dipilih oleh umat supaya mereka tidak terjebak dan terhindar dari kesalahfahaman pendapat. Mereka menginginkan hidup bermuamalah susuai ajaran Islam.

  1. Masalah Pokok

Berdasarkan pada uraian di atas maka masalah pokok yang dikemukakan dalam makalah ini adalah bagaimana hukum asuransi menurut Islam? Sebagai mahasiswa itu merupakan tugas kita semua sebagai generasi bangsa dan calon pemimpin umat. Sedangkan masalah yang lainnya adalah bagaimana perbedaan antara asuransi konvensional dan asuransi syari’ah? Kedua masalah tersebut menjadi fokus pembahasan dalam makalah ini.

  1. Tujuan dan Kegunaan Penulisan

1) Mengkaji masalah sebagai bahan kajian untuk dipikirkan oleh kita sebagai calon cendekiawan;

2) Bahan renungan untuk dikaji lebih dalam dan dicarikan solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalah tersebut;

3) Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Fiqih.

D. Sumber Utama dalam Penulisan

Sumber utama penulisan makalah ini adalah buku-buku yang membahas masalah asuransi. Selain dari buku-buku masalah asuransi ada juga buku yang lain sebagai penunjang dan lebih mengarahkan kearah sana. Media internet juga menjadi sarana yang membantu untuk mengetahui lebih jauh lagi. Semua yang memuat masalah asuransi kami mencoba untuk mencarinya sebagai pembanding.

  1. Pendekatan dan Metode Penulisan

1) Pencarian data metode yang digunakan adalah meode perpustakaan. Buku yang memuat masalah asuransi dikumpulkan untuk masuk ke tahap selanjutnya.

2) Analisis data, data yang terkumpul dianalisi mana yang sesuai mana yang tidak.

3) Pengungkapan data, data yang telah selesai dianalisis diketik untuk selanjutnya dibuat dalam bentuk makalah.


BAB II

ASURANSI

A. Pengertian Asuransi

Menurut pasal 246 Welboek van Koophandel (Kitab Undang-Undang Perniagaan) bahwa yang dimaksud dengan auransi adalah suatu persetujuan dimana pihak yang meminjam berjanji kepada pihak yang dijamin untuk menerima sejumlah uang premi (nasabah) sebagai pengganti kerugian, yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin karena akibat dari suatu peristiwa yang belum jelas akan terjadi.[1]

Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan bahwa asuransi ialah jaminan atau perdagangan yang diberikan oleh penanggung (biasanya kantor asuransi) kepada yang tertanggung untuk risiko kerugian sebagai yang ditetapkan dalam surat perjanjian (polis) bila terjadi kebakaran, kerusakan dan sebagainya ataupun mengenai kehilangan jiwa (kematian) atau kecelakaan lainnya dengan yang tertanggung membayar premi sebanyak yang ditentukan kepada penanggung tiap-tiap bulan.[2]

Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa asuransi memiliki tiga unsur, yaitu (1) pihak tertanggung yang membayar uang premi kepada pihak penanggung, (2) pihak penanggung yang berjanji akan membayar sejumlah uang kepada pihak yang tertanggung, dan (3) suatu peristiwa yang semula belum jelas akan terjadi.

Berdasarkan pengertian asuransi sebagaimana tersebut di atas, maka perjanjian asuransi mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:

a. Perjanjian asuransi atau pertanggungan pada dasarnya adalah suatu perjanjian kerugian. Penanggung mengikatkan diri untuk menggantikan kerugian karena pihak tertanggung menderita kerugian.

b. Perjanjian asuransi atau pertanggungan adalah pertanggungan bersyarat. Kewajiban mengganti rugi dari penanggung hanya dilaksanakan kalau peristiwa yang tidak tertentu atas nama diadakan pertanggungan itu terjadi.

c. Perjanjian asuransi adalah perjanjian timbal balik. Kewajiban penanggung mengganti rugi yang diharapkan dengan kewajiban tertanggung membayar premi.

d. Kerugian yang diderita adalah sebagai akibat dari peristiwa yang tidak tertentu atas mana diadakan pertangungan.[3]

B. Macam-macam Asuransi

Asuransi yang terdapat pada negara-negara di dunia ini bermacam-macam. Hal ini terjadi karena bermacam-macam pula sesuatu yang diasuransikan. Untuk lebih jelasnya, berikut ini macam-macam asuransi itu.

a. Asuransi Timbal Balik

Maksud dengan asuransi timbal balik adalah beberapa orang memberikan iuran tertentu yang dikumpulkan dengan maksud meringankan atau melepaskan beban seseorang dari mereka saat mendapat kecelakaan. Jika uang yang dikumpulkan tersebut telah habis, dipungut lagi iuran yang baru untuk persiapan selanjutnya, demikianlah selanjutnya.

b. Asuransi Dagang

Asuransi dagang ialah beberapa manusia yang senasib bermufakat dalam mengadakan pertanggungjawaban bersama untuk memikul kerugian yang menimpa salah seorang anggota kelompoknya yang telah berjanji itu, seluruh orang yang tergabung dalam perjanjian tersebut memikul beban kerugian itu dengan cara memungut derma (iuran) yang telah ditetapkan atas dasar kerja sama untuk meringankan teman semasyarakat.

c. Asuransi Pemerintah

Asuransi pemerintah adalah menjamin pembayaran harga kerugian kepada siapa saja yang menderita di waktu terjadinya suatu kejadian yang merugikan tanpa mempertimbangkan keuntungannya, bahkan pemerintah menanggung kekurangan yang ada karena uang yang dipungut sebagai iuran dan asuransi lebih kecil daripada harga pembayaran kerugian yang harus diberikan kepada penderita di waktu kerugian itu terjadi.

d. Asuransi atas Bahaya yang Menimpa Badan

Adalah asuransi dengan keadaan-keadaan tertentu pada asuransi jiwa atas kerusakan-kerusakan diri seseorang, seperti asuransi mata, asuransi telinga, asuransi tangan, atau asuransi atas penyakit-penyakit tertentu. Asuransi ini banyak dilakukan oleh buruh-buruh industri yang menghadapi bermacam-macam kecelakaan dalam menunaikan tugasnya.[4]

e. Asuransi Jiwa

Asuransi jiwa adalah asuransi yang bertujuan menanggung orang terhadap kerugian finansial yang tidak terduga yang disebabkan seseorang meninggal terlalu cepat atau hidupnya terlalu lama. Jadi ada dua hal yang menjadi tujuan asuransi jiwa ini, yaitu menjamin biaya hidup anak atau keluarga yang ditinggalkan bila pemegang polis meninggal dunia atau untuk memenuhi keperluan hidupnya dan keluarganya, bila ditakdirkan usianya lanjut sesudah masa kontrak berakhir.

f. Asuransi Kebakaran

Asuransi kebakaran bertujuan untuk mengganti kerugian yang disebabkan oleh kebakaran. Dalam hal ini pihak perusahaan asuransi menjamin risiko yang terjadi karena kebakaran. Oleh karena itu perlu dibuat suatu kontrak (perjanjian) antara pemegang polis (pembeli asuransi) dengan perusahaan asuransi. [5]

C. Pendapat Ulama tentang Asuransi

Masalah asuransi dalam pandangan islam termasuk masalah ijtihadiyah, artinya hukumnya perlu dikaji sedalam mungkin karena tidak dijelaskan oleh Al-Qur’an dan Sunnah secara eksplisit. Para imam mujtahid seperti Abu Hanifah, imam Malik, imam Syafi’i, imam Ahmad dan para mujtahid yang semasa dengannya tidak memberikan fatwa mengenai asuransi karena pada masanya asuransi belum dikenal. Sistem asuransi baru dikenal di dunia timur pada abad XIX M. Dunia barat sudah mengenal system asuransi sejak abad XIV M, sedangkan para ulama mujtahid besar hidup pada sekitar abad II s.d. IX M.

Di kalangan ulama atau cendekiawan muslim terdapat empat pendapat tentang hukum asuransi, yaitua:

a. Mengharamkan asuransi dalam segala macam dan bentuknya seperti sekarang ini, termasuk asuransi jiwa. Kelompok ini antara lain Sayyid Sabiq yang diungkap dalam kitabnya fiqh al-Sunnah, Abdullah al-Qalqili, Yusuf al-Qardhawi, dan Muhammad Bakhit al-Muth’I, alasannya antara lain:

· Asuransi pada hakikatnya sama dengan judi;

· Mengandung unsur tidak jelas dan tidak pasti;

· Mengandung unsur riba;

· Mengandung unsur eksploitasi karena apabila pemegang polis tidak bisa melanjutkan pembayaran preminya, bisa hilang atau dikurangi uang premi yang telah dibayarkan;

· Premi-premi yang telah dibayarkan oleh para pemegang polis diputar dalam praktik riba (karena uang tersebut dikreditkan dan dibungakan);

· Asuransi termasuk akad sharfi artinya jual beli atau tukar-menukar mata uang tidak dengan uang tunai;

· Hidup dan matinya manusia dijadikan objek bisnis yang berarti mendahului takdir Tuhan.

b. Membolehkan semua asuransi dalam prakteknya dewasa ini.

Pendapat ini dikemukakan oleh Abdul Wahab Khalaf, Mustafa Ahmad Zarqa, Muhammad Yusuf Musa dan alasan-alasan yang dikemukakannya sebagai berikut:

· Tidak ada nash al-Qur’an maupun hadis yang melarang asuransi

· Kedua pihak yang berjanji dengan penuh kerelaan menerima operasi ini dilakukan dengan memikul tanggungjawab masing-masing;

· Asuransi tidak merugikan salah satu atau kedua belah pihak dan bahkan asuransi menguntungkan kedua belah pihak;

· Asuransi mengandung kepentingan umum, sebab premi-premi yang terkumpul dapat diinvestasikan (disalurkan kembali untuk dijadikan modal) untuk proyek-proyek yang produktif dan untuk pembangunan;

· Asuransi termasuk akad mudharabah, maksudnya asuransi merupakan akad kerja sama bagi hasil antara pemegang polis (pemilik modal) dengan pihak perusahaan asuransi yang mengatur modal atas dasar bagi hasil;

· Asuransi termasuk syirkah ta’awuniyah;

· Dianalogikan atau diqiyaskan dengan sistem pensiun, seperti taspen;

· Operasi asuransi dilakukan untuk kemaslahatan umum dan kepentingan bersama;

· Asuransi menjaga banyak manusia dari kecelakaan harta benda, kekayaan, dan kepribadian.

c. Membolehkan asuransi yang bersifat sosial dan mengharamkan asuransi yang bersifat komersial semata.

Pendapat ini dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah. Alasan yang dapat digunakan untuk membolehkan asuransi yang bersifat sosial sama dengan alasan pendapat kedua, sedangkan alasan pengharaman asuransi bersifat komersial semata-mata pada garis besarnya sama dengan alasan pendapat pertama.

d. Menganggap bahwa asuransi bersifat syubhat karena tidak ada dali-dalil syar’i yang secara jelas mengharamkan ataupun secara jelas menghalalkannya. Apabila hukum asuransi dikategorikan syubhat, konsekuensinya adalah umat Islam dituntut untuk berhati-hati dalam menghadapi asuransi . umat Islam baru dibolehkan menjadi polis atau mendirikan perusahaan asuransi apabila dalam keadaan darurat.[6]

Bahkan menurut Yusuf al-Qardhawi sendiri bahwa dalam bentuk asuransi jiwa jauh sekali dari watak perdagangan dan solidaritas berserikat, bahkan lebih lanjut menurutnya asuransi jiwa merupakan akad perjanjian yang fasid, walaupun antara kedua belah pihak saling mengetahui, namun kemanfaatannya itu tidak berbobot. Kerelaan dalam asuransi ini tidak bisa dianggap sebagai alasan halalnya perbuatan tersebut karena muamalah ini tidak menegakkan prinsip-prinsip keadilan dengan tegas yang tidak dicampuri dengan kezaliman dan penipuan serta perampasan oleh satu pihak terhadap pihak lain, sedang keadilan dan tidak saling membahayakan adalah pokok.

Yusuf al-Qardhawi memberikan alternatif asuransi, yaitu dengan kemungkinan terbukanya asuransi digolongkan sebagai yayasan dana bantuan dengan syarat-syarat sebagai berikut:

1. Setiap anggota yang menyetor uangnya dengan jumlah yang telah ditentukan, harus disertai niat membantu demi menegakkan prinsip ukhuwah. Kemudian dari uang terkumpul diambil sejumlah uang guna membantu orang yang sangat memerlukan.

2. Bila uang itu diputar harus dijalankan menurut aturan syara’.

3. Tidak dibenarkan orang menyetorkan sejumlah kecil uang dengan harapan mendapatkan imbalan yang berlipat apabila terkena musibah. Akan tetapi, ia diberi uang jariyah sebagai ganti atas kerugian itu atau sebagiannya menurut izin yang diberikan oleh jama’ah.

4. Sumbangan sama dengan hibah, oleh karena itu haram hukumnya ditarik kembali.[7]

D. Perbedaan Asuransi Syari’ah dan Konvensional

no

Prinsip

Asuransi Konvensional

Asuransi Syariah

1.

Konsep

Perjanjian antara dua pihak
atau lebih, di mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan
pergantian kepada tertanggung.

Sekumpulan orang yang saling membantu, saling menjamin, dan bekerja sama, dengan cara
masing-masing mengeluarkan dana tabarru’.

2.

Asal Usul

Dari masyarakat Babilonia
4000-3000 SM yang dikenal dengan perjanjian Hammurabi. Dan tahun
1668 M di Coffee House London berdirilah Lloyd of London sebagai cikal bakal asuransi konvensional.

Dari Al-Aqilah, kebiasaan suku Arab jauh sebelum Islam datang. Kemudian disahkan oleh
Rasulullah menjadi hukum Islam, bahkan telah tertuang dalam konstitusi pertama di dunia (Konstitusi Madinah) yang dibuat langsung oleh Rasulullah.

3.

Sumber Hukum

Bersumber dari pikiran
manusia dan kebudayaan. Berdasarkan hukum positif, hukum alami, dan contoh sebelumnya.

Bersumber dari wahyu Ilahi.
Sumber hukum dalam syariah Islam adalah Al Qur’an, Sunnah
atau kebiasaan Rasulullah, Ijma, Fatwa Sahabat, Qiyas, Istihsan,
Urf, tradisi, dan Mashalih Mursalah.

4.

“Maghrib” (Maysir, Gharar, dan Riba’)

Tidak sejalan dengan syariah Islami karena adanya
Maysir, Gharar, dan Riba’; hal yang diharamkan dalam muamalah.

Bersih dari adanya prakter
Maysir, Gharar, dan Riba’.

5.

DPS (Dewan Pengawas Syariah)

Tidak ada, sehingga dalam banyak prakteknya bertentangan dengan
kaidah-kaidah syara’/syariah.

Ada, yang berfungsi untuk
mengawasi pelaksanaan operasional perusahaan agar terbebas dari praktek-praktek muamalah yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah

Ada tujuh perbedaan mendasar antara asuransi syariah dengan asuransi konvensional.
Perbedaan tersebut adalah:

  1. Asuransi syari'ah memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang betugas mengawasi produk yang dipasarkan dan pengelolaan investasi dananya. Dewan Pengawas Syariah ini tidak ditemukan dalam asuransi konvensional.
  2. Akad yang dilaksanakan pada asuransi syari'ah berdasarkan tolong menolong. Sedangkan asuransi konvensional berdasarkan jual beli
  3. Investasi dana pada asuransi syari'ah berdasarkan bagi hasil (mudharabah). Sedangkan pada asuransi konvensional memakai bunga (riba) sebagai landasan perhitungan investasinya
  4. Kepemilikan dana pada asuransi syari'ah merupakan hak peserta. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Pada asuransi konvensional, dana yang terkumpul dari nasabah (premi) menjadi milik perusahaan. Sehingga, perusahaan bebas menentukan alokasi investasinya.
  5. Dalam mekanismenya, asuransi syari'ah tidak mengenal dana hangus seperti yang terdapat pada asuransi konvensional. Jika pada masa kontrak peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa reversing period, maka dana yang dimasukan dapat diambil kembali, kecuali sebagian dana kecil yang telah diniatkan untuk tabarru'.
  6. Pembayaran klaim pada asuransi syari'ah diambil dari dana tabarru' (dana kebajikan) seluruh peserta yang sejak awal telah diikhlaskan bahwa ada penyisihan dana yang akan dipakai sebagai dana tolong menolong di antara peserta bila terjadi musibah. Sedangkan pada asuransi konvensional pembayaran klaim diambilkan dari rekening dana perusahaan.
  7. Pembagian keuntungan pada asuransi syari'ah dibagi antara perusahaan dengan peserta sesuai prinsip bagi hasil dengan proporsi yang telah ditentukan. Sedangkan pada asuransi konvensional seluruh keuntungan menjadi hak milik perusahaan.


BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan keterangan diatas dapat diambil kesimpulan bahwa hukum daripada asuransi ialah masih dalam perbincangan para ulama, karena permasalahan halal haram asuransi sebelumnya tidak ada dalil ayat ataupun hadis yang menyebutkannya secara detail. Namun, walaupun demikian kita bisa melihat beberapa hasil ijtihad pendapat ulama yang menurut akal atau logika mendekati kebenaran, misalnya, seperti pendapat Muhammad Abu Zahrah yang mengatakan bahwa “asuransi dibolehkan/halalkan apabila bersifat sosial dan dilarang/haramkan apabila pelaksanaannya bersifat komersial”. Hal ini dikarenakan bahwa jika asuransi dilaksanakan secara sosial maka tidak pihak yang merasa dirugikan melainkan saling menguntungkan antara lain sebagai salah satu tempat untuk berinvestasi. Sedangkan, jika asuransi dilaksanakan secara komersial maka banyak pihak yang akan dirugikan dan hal ini dapat dikategorikan ke dalam perjudian yang dapat merugikan sebelah pihak.

Dan juga kita sebagai umat islam yang berpegang teguh dan patuh terhadap al-Qur’an, Hadis dan juga para pemimpin (ulama) yang taat kepada Allah SWT. Maka sepantasnyalah kita menghargai dan mengikuti pendapat Ulama agar supaya kita tidak terombang-ambing oleh pendapat-pendapat selain mereka yang dapat menjerumuskan kita kearah yang tidak benar (sesat). Dan disamping itu, kita sebagai manusia yang diberikan akal dan pikiran, dengan akal tersebut kita dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, maka hendaklah kita selalu menggunakannya dalam setiap kali menghadapi masalah.

DAFTAR PUSTAKA

1. Projodikoro, Wiryono. Hukum Asuransi di Indonesia, Jakarta: PT Munas, 1986.

2. Hasan, M Ali. Masail Fiqhiyah: Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997.

3. Aibak, Kutbuddin. Kajian Fiqih Kontemporer, Yogyakarta: TERAS, 2009.

4. Hendi, Suhendi. Fiqih Muamalah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.

5. Ajat, Sudrajat. Fiqih Aktual: Kajian Atas Persoalan-persoalan Hukum Islam Kontemporer, Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2008.

6. Program internet. www. Halal dan haram asuransi. Com.

7. Program internet. www. Perbedaan asuransi syari’ah dan asuransi konvensional. Com.



[1] Wiryono Projodikoro, Hukum Asuransi di Indonesia, (Jakarta: PT Munas, 1986), hal 1.

[2] M Ali Hasan, Masail Fiqhiyah: Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hal 57.

[3] Kutbuddin Aibak, Kajian Fiqih Kontemporer, (Yogyakarta: TERAS, 2009), hal 174.

[4] Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hal 308.

[5] Ajat Sudrajat, Fiqih Aktual: Kajian Atas Persoalan-persoalan Hukum Islam Kontemporer, (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2008), hal 228.

[6] M Ali Hasan, Masail Fiqhiyah: Zakat, Pajak, Asuransi dan Lembaga Keuangan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hal 60.

[7] Ajat Sudrajat, Fiqih Aktual: Kajian Atas Persoalan-persoalan Hukum Islam Kontemporer, (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2008), hal 232.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar